Rabu
(14 Mei 2014) pukul 03:02 pm, kami masih berada di Zakir Kupi Lamprit. Tidak
terbersit sedikitpun rencana untuk menuju ke pantai Pasir Putih, hingga
tiba-tiba salah seorang dari kami mengajak jalan-jalan ke sana. Mengingat waktu
sudah terlalu sore, ada rasa enggan untuk berangkat, tapi karena mengingat
kesempatan yang sangat sulit untuk didapatkan lagi akhirnya kami (sebenarnya hanya
saya dan seorang teman saya) berangkat menuju ke sana. Pukul 04.15 kami
meninggalkan Zakir, namun kami terlebih dahulu shalat ashar di Masjid Oman dan
setelahnya kami menuju ke Darussalam untuk mengambil perlengkapan yang
dibutuhkan, menit demi menit berlalu, akhirnya kami baru siap berangkat pada
pukul 05:14 pm.
Perjalanan
memakan waktu sekitar 45 menit, kami tiba di Pantai Pasir Putih Lhokmee
sekitaran pukul 06:00 pm, namun selama di jalan, kami tak dibuat bosan oleh
eloknya pemandangan yang disuguhkan alam. Barisan bukit Lhokmee yang gundul
mampu membuat mata tak berhenti memandang.
Tidak
seperti pantai Lampuuk maupun Alue Naga, pantai ini sangat sepi dari
pengunjung, hanya kami berdua yang mengunjunginya. Apakah karena sudah terlalu
sore, kami pun tidak tahu dan tidak terlalu mempedulikannya. Padahal dulu
pantai ini merupakan tempat wisata favorit baik wisatawan lokal maupun
interlokal (maksudnya pelancong luar kota), namun mungkin popularitas pantai
ini merosot akibat ditemukannya pantai yang lebih indah, yaitu pantai Lampuuk. Alasan
lain mungkin perjalanan menuju pantai ini terbilang jauh dari pusat kota Banda
Aceh.
Segera,
kami mengeluarkan perlengkapan yang sudah dipersiapkan karena tujuan kami
memang untuk mengambil beberapa foto ditambah dengan sepinya suasana pantai
membuat kami sangat bersemangat. Pohon-pohon yang tumbuh di tepi pantai
langsung menjadi objek sasaran. Suasana pantai yang damai pun berhasil kami
abadikan dalam sebuah bingkai foto.
Oh
iya, alangkah baiknya untuk membawa makanan dan minuman sendiri dari rumah,
karena barang-barang yang dijual di sekitaran pantai ini lebih mahal dari harga
pasaran. Cobalah untuk membawa Liang Teh Cap Panda untuk mencegah masuk angin
ketika dalam perjalanan.
Saat
kami sedang asyik-asyiknya, seorang penduduk lokal datang. Bukan menemui kami
lho, tapi beliau ingin mempersiapkan perahu untuk berlayar pada malamnya. Kami pun
sempat mengobrol dengan beliau, ternyata pantai ini ramai pengunjungnya ketika
sedang hari libur, karena kami datang pada hari kerja, pantas saja
pengunjungnya hanya kami. Kami sebenarnya ingin memotret beliau dengan
aktivitas yang dilakukan, tapi tidak diizinkan karena beliau malu untuk difoto.
Pemandangan
dari bibir pantai ternyata tidak mampu membuat kami puas, sehingga kami mencari
spot yang lebih indah untuk didokumentasikan. Dari kejauhan terlihat hamparan
karang yang berada agak ke tengah lautan, kami bertanya pada bapak tadi
kira-kira bagaimana caranya kami bisa menuju ke sana. Hanya ada satu jalan,
yaitu dengan menyeberang lautan.
Ternyata
perjalanan menuju ke hamparan karang itu tidak semudah yang dibayangkan, karena
terdapat banyak akar-akar pohon yang kami tidak tahu namanya (eh) menembus
permukaan tanah seperti jarum jarum besar yang melihatnya saja sudah menusuk
mata dan juga kami tidak membawa pakaian ganti, terpaksa kami harus
basah-basahan dengan celana yang kami pakai. Tetapi perjuangan itu tidak
sia-sia, pemandangan dari sana sangatlah indah untuk didokumentasikan.
Tak
terasa azan maghrib berkumandang saat kami masih berada di lautan, kami pun
bergegas berkemas untuk menunaikan shalat maghrib di mushalla yang terletak di
dekat bibir pantai. Setelah melepaskan lelah sejenak, kami pun berangkat
pulang.
Tak
lama, kami pun berangkat pulang.